Selamat membaca

Laman

Rabu, 16 November 2011

Langkah Aplikatif Mahasiswa Dimulai dari Sini

Ketika memulai tulisan ini yang bertema peranan mahasiswa untuk Negara, muncul bayangan tentang kondisi rakyat Indonesia saat ini. Begitu banyak rakyat di Negeri ini hidup dalam kesusahan. Jutaan orang hidup dalam kemiskinan. Dari hari ke hari, mereka menjalani kehidupan di bawah garis kemiskinan sampai akhir ajal pun hanya memiliki bekal sedikit makanan dan pakaian sekadarnya. Kemiskinan tersebut untuk selanjutnya bergulir kepada generasi penerusnya dan tidak pernah memberikan tanda kapan ia lelah dan memutuskan untuk berhenti.
Tidak perlu menjabarkan angka statistic kemiskinan di Indonesia yang saat ini menjadi dokumen Negara jika hanya ingin menyadari banyaknya orang miskin di negeri ini. Ketika melakukan perjalanan ke kampus lewat Gang Damai Barel (Belakang Rel), terekam mozaik-mozaik kemiskinan negeri ini. Seorang yang tua renta duduk dan menengadahkan tanggannya di lorong gang Damai, berharap kedermawanan orang-orang yang melewatinya. Orang tua tersebut duduk di jalan yang basah oleh gerimis dengan dua orang anak dibawah umur, salah satu diantara mereka tertidur pulas dan yang lain bermain tanah. Kemiskinan membuat mereka bertahan dalam kondisi yang memprihatinkan tersebut.
Mozaik kemiskinan yang lain terpatri ketika melewati lorong Blok FISIP. Dua anak menjajakan dagangannya kepada para mahasiswa, satu diantaranya menjual Koran dan yang lain menjual tissue. Mereka berusia sekitar 12 tahun dimana seharusnya menggunakan waktu paginya untuk menyiapkan diri berangkat ke sekolah. Tetapi kemiskinan mengehentikan mereka untuk melangkahkan kakinya ke tempat yang seharusnya mereka tuju.
            Mahasiswa yang berlalu-lalang diantara potret-potret kemiskinan melenggang santai, adapula diantara mereka yang mungkin karena takut terlambat kelas jam pertama tidak menyadari pajangan foto-foto kemiskinan tersebut. Namun diantara mereka juga ada yang berbelas kasih dan membagi nikmat yang mereka miliki. Sampai saat ini belum ada survey tentang kuantitas dan intensitas mahasiswa yang melakukan kegiatan tersebut, mungkin karena asumsi kuno yang menyatakan bahwa jika tangan kanan memberi lebih baik tangan kiri tidak mengetahui.
            Merespon potret kemiskinan di jalanan ketika menuju kampus merupakan salah satu peranan mahasiswa untuk Negara. Negara yang diwakili oleh Pemda mungkin tidak membuat program khusus dalam menangani kemiskinan di sekitar kampus bukan? Oleh karena itu mahasiswa sekiranya dituntut mengatasi kemiskinan yang ada disekitar lingkungan mereka. Tidak perlu terlalu muluk untuk menanggapi di tingkat nasional, minimal mulai dari tingkat lingkungan sekitar, tentu dengan orientasi perkembangan yang berkelanjutan.
            Apakah memberi sebagian uang jajan untuk masyarakat miskin (peminta-minta dan anak jalanan) yang dilakukan oleh mahasiswa dapat mengurangi kemiskinan? Dan apakah mahasiswa tersebut sudah dapat dikatakan menjalankan peranannya kepada Negara? Belum, sekiranya itu jawaban yang saya ajukan. Argument terhadap pendapat tersebut berdasarkan fakta empiris yang saya lihat. Beberapa mahasiswa memberikan uang dengan nominal terkecil yang sedang mereka miliki saat itu kepada para peminta-minta. Walaupun secara akumulatif si peminta akan mendapatkan hasil yang lumayan besar dari kegiatan meminta-mintanya tetapi hal tersebut tidak lantas menjadikannya hidup lebih sejahtera dari sebelumnya. Alhasil, keesokan harinya peminta-minta akan tetap melakukan kegiatan tersebut lagi dan lagi.
            Salah satu status yang dilekatkan masyarakat pada mahasiswa adalah seorang intelektual. Dengan intelektualitas yang dimilikinya diharapkan ia menjalankan role-nya dalam masyarakat (berperan dalam Negara). Seorang intelektual berpikir sebelum melakukan tindakan, orientasi tindakannya adalah kebermanfaatan, dan menekankan inovasi dalam tindakan-tindakan yang dilakukannya. Nah, bertolak dari pemamparan tersebut maka secara aplikatif mahasiswa dapat berperan dalam menangani kemiskinan di lingkungannya dengan mengasah intelektualitasnya.
            Sebelum memberikan uang dengan nominal yang dipunyai, seorang mahasiwa harus berpikir apakah dengan uang tersebut sang peminta dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kalau jawabannya tidak maka jangan melakukan hal tersebut. Kumpulkan uang-uang yang diniatkan untuk memberi para peminta-minta. Setiap mahasiswa mempunyai kemampuan berorganisasi. Maka untuk masalah ini diperlukan pembentukan oraganisasi yang khusus menjalankan program pengurangan kemiskinan di sekitar kampus. Lalu apakah uang yang terakumulasi langsung saja diberikan kepada mereka yang membutuhkan? Disini mahasiswa perlu inovasi dalam melakukan tindakan yang akan dilakukannya.
Inovasi dalam hal ini misalnya saja memberikan modal kepada para peminta-minta tersebut untuk membuka usaha. Control permodalan tersebut di tangan organisasi yang telah dibentuk. Dengan modal yang ada maka mahasiswa menghindarkan seseorang dari tindakan meminta-minta, dan secara tidak langsung meningkatkan pendapatan sang peminta-minta. Jika ditelaah lebih jauh tentu hal tersebut turut menyumbang peningkatan pendapatan perkapita. Atau dengan uang yang terkumpul tersebut dapat digunakan untuk memberikan biaya bagi pendidikan anak yang jualan Koran dan tissue. Yang perlu ditekankan disini adalah langkah aplikatif dan inovatif dalam tindakan mengurangi kemiskinan di lingkungan sekitar.
Selain inovasi dari hasil intelektualitas ada strategi lain untuk melakukan pengurangan kemiskinan di lingkungan sekitar kampus. Keterbatasan uang jajan membuat mahasiswa berpikir ulang untuk memberikan uang kecilnya kepada orang miskin. Lain dengan orang yang telah memiliki pendapatan sendiri. Bukankah mahasiswa belum bekerja, lantas dari mana datangnya pendapatan itu? Berwirausaha, mahasiswa dibentuk dengan kemampuan dasar untuk mandiri. Seharusnya ilmu yang diperoleh dari bangku kuliah diaplikasikan dalam bentuk wirausaha. Saat ini banyak diantara wirausaha yang memulai bisnisnya sejak ia berada di bangku kuliah. Contohnya Baba Rafi, seorang penggagas usaha “Kebab Turki”. Ia memulai usaha bisnisnya saat ia mengenyam bangku kuliah di ITS. Role model selanjutnya dapat dilihat dari Nancy Margaried dengan konsep usaha “Batik Fracktail”nya. Batik Fractail merupakan software motif batik yang memudahkan produksi batik. Konsep tersebut didapatkannya dari logika dan rumus-rumus matematikanya saat di bangku kuliah. Ia dapat menjual sebesar 2 juta per software.
Itulah beberapa contoh mahasiswa diluar kita yang telah berpendapatan dengan dasar pengetahuan dan waktu yang mendukung mereka ketika berada di bangku kuliah. Tak jauh mengambil contoh, Chandra Krisna Hermawan mahasiswa FISIP, jurusan Administrasi Niaga 2006. Kini ia telah sukses menjadi seorang wirausaha muda dengan konsep pembuatan pin-pin lucu. Konsep-konsep yang diusung oleh mahasiswa terkadang memang tampak sederhana dan imposible. Namun dengan optimisme dan pantang menyerah yang melekat pada jiwa mudanya semua akan tampak mudah dilakukan.
Itulah salah satu tindakan aplikatif mahasiswa untuk mengurangi kemiskinan di lengkunagn sekitar kampus. Dengan berpendapatan sendiri maka kecenderungan untuk memberikan lebih banyak semakin besar. Namun ada satu hal yang perlu diingat ketika seorang mahasiswa berwirausaha dengan orientasi kebermanfaatan. Mereka tidak hanya menekankan usaha pada profit oriented, tetapi mengkategorikan usahanya sebagai wirausaha social. Wirausaha social sama seperti wirausaha di dunia bisnis, memanfaatkan peluang bisnis untuk mendapatkan profit. Namun, wirausaha social yang dijalankan mengalokasikan profitnya untuk kepentingan social.
Dari intelektualitas yang dimiliki oleh mahasiswa maka akan tercipta suatu perubahan. Kondisi sekitar yang memprihatinkan mengharuskan mahasiwa untuk bertindak aplikatif. Mahasiswa harus menjadi pendorong tumbuhnya pemimpin-pemimpin yang memperjelas arah perjalanan bangsa kearah yang lebih maju. Mahasiswa dengan semangat mudanya diharapkan dapat menjadi roh semangat kebangsaan dalam konteks baru. Seperti kata Imam Prasojdo, Dosen Pengabdian Masyarakat FISIP UI, bahwa mahasiswa harus mampu menemukan “software social baru” untuk menopang kondisi Negara saat ini. Untuk mempermudah tugas kita semua sebagai mahasiswa maka kita persempit tanggung jawab kita pada Negara, kita mulai peran kita pada tingkat lingkungan social kita. Langkah yang aplikatif penuh semangat dan pantang menyerah, dimulai saat ini dan dari sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar