Selamat membaca

Laman

Minggu, 29 April 2012

Aspek Hukum Dalam Bisnis (Konsep Saluran Distribusi Perekonomian Indonesia) KONSEP SALURAN DISTRIBUSI PEREKONOMIAN INDONESIA


Aspek Hukum Dalam Bisnis (Konsep Saluran Distribusi Perekonomian Indonesia) KONSEP SALURAN DISTRIBUSI PEREKONOMIAN INDONESIA 

Aspek Hukum bisnis berlaku di dunia dan regional. Pelaksanaan Aspek Hukum bisnis baik itu regional, sektoral maupun internasional mempunyai beberapa persamaan yang pada umumnya merupakan suatu dasar dari pengertian hukum itu sendiri. Hukum menurut J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH. Adalah “Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang wajib, pelanggaran mana terhadap peraturan – peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”. Randy E. Barnet dan Lawrence M, Fredman dalam bukunya American Law memberikan suatu dasar dalam Pelaksanaan Aspek Hukum.
Upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang dilakukan Negara pada sisi yang lain berhadapan dengan tuntutan globalisasi. Keadaan tersebut membawa pergeseran paradigma di bidang perdagangan dan investasi daristate led development menuju market driven development, yang pada gilirannya membawa perubahan pada aktivitas business, prilaku para pelaku business, dan munculnya institusi-institusi business baru.
Para pelaku business baik lokal maupun asing menjadi pihak yang mempunyai kepentingan akan adanya kenyamanan, kelancaran, kepastian, efesisien dan efektif dalam melakukan investasi di tengah hiruk pikuk munculnya berbagai regulasi dan institusi-institusi investasi/bisnis baru . Menjadi pilihan terbaik bagi para pelaku bisnis apabila kepentingan mereka dalam melakukan investasi terlindungi.
Aspek hukum merupakan hal yang urgen dalam kegiatan bisnis. Dengan memperhatikan aspek-aspek hukum dalam kegiatan bisnis problem / sengketa bisnis yang rumit dan berlarut-larut akan dapat dihindari, diminimalisir serta diselesaikan apabila sejak dini aspek hukum telah memperoleh perhatian. Jika aspek hukum dikesampingkan niscaya biaya atau risiko yang harus dikeluarkan sehubungan dengan penyelesaian masalah sengketa bisnis yang mungkin timbul akan jauh sangat besar dan mahal.
Perhatian yang memadai terhadap aspek hukum saat pengambilan keputusan Bisnis akan banyak membawa manfaat dalam menyikapi, menyiasati, atau mengendalikan setiap keadaan, sehingga kemungkinan munculnya permasalahan, risiko atau kerugian dikemudian hari dapat dihindari atau diperkecil.
Jadi pengertian studi kelayakan peroyek atau bisnis adalah penelitihan yang menyangkut berbagai aspek baik itu dari aspek hukum, sosial ekonomi dan budaya, aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan teknologi sampai dengan aspek manajemen dan keuangannya, dimana itu semua digunakan untuk dasar penelitian studi kelayakan dan hasilnya digunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu proyek atau bisnis dapat dikerjakan atau ditunda dan bahkan ditadak dijalankan.
Oleh karna itu dalam dunia bisnis kita harus mempelajari beberapa ilmu hukum dalam berbisnis.

Aspek Hukum Dalam Bisnis (Konsep Saluran Distribusi Perekonomian Indonesia)
KONSEP SALURAN DISTRIBUSI PEREKONOMIAN INDONESIA
David A. Revzan menggatakan bahwa saluran distribusi merupakan suatu jalu yang dilalui oleh arus barang-barang dari produsen ke perantara dan akhirnya sampai pada pemakai. Sedangkan definissi lain tentang saluran pemasaran ini dikemukakan oleh The American Marketing Association, yang lebih menekankan banyaknya lembaga yang ada dalam arus barang dan menyatakan bahwa saluran distribusi merupakan suatu struktur unit organisasi dalam perusahaan dan luar perusahaan yang terdiri atas agen, dealer, pedagang besar, pengecer, melalui sebuah komoditi pasar atau jasa yang dipasarkan.
Definisi saluran distribusi yang bersifat paling luas dikemukakan oleh C. Glenn Walters yang mengatakan bahwa saluran distribusi adalah sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang mengkombinasikan antara pemindahan fisik dan nama dari suatu produk untuk menciptakan kegunaan bagi pasar-pasar tertentu.

DEFINISI MANAJEMEN SALURAN

Manajemen saluran adalah pengembangan strategi yang searah didasarkan pada bebagai keputusan yang berkaitan untuk memindahkan barang-barang secara fisik atau non fisik guna mencapai tujuan perusahaan dan berada dalam kondisi lingkungan tertentu adlah definisi menurut C.Glen Walters.
Sebuah pendekatan yang beorientasi pada keputusan dapat diartikan bahwa perhatian diarahkan pada pengenbangan kebijaksanaan yang efektif, tidak hanya pada deskripsi tentang bagaimana sebuah saluran beroperasi. Sedangkan pengambilan keputusan menitik beratkan pada ruang lingkup uyang luas tentang masalah manajemen saluran dan bagaimana hubungan dengan masing-masing masalah.
Manajemen saluran dapat dikatakan perantara. Perantar pemasaran merupakan lembaga atau individu yang menjalankan kegiatan di bidang distribusi, dan merka itu adalah:
a. perantara pedagang
b. perantara agen
Keuntungan menggunakan perantara yaitu:
a. mengurangi tugas produsen dalam kegiatan distribusi untuk mencapai konsumen.
b. kegiatan distribusinya cukup baik bilaman perantara sudah mempunyai pengalaman.
c. Perantara dapat membantu menyediakan peralatan dan jasa reparasi yang dibutuhkan untuk beberapa jenis produk tertentu,sehingga produsen tidak perlu menyediakannya.
d. perantara dapat membantu dibidang pengangkutan dengan menyediakan alat transport.
e. perantara dapat membantu menyimpan barang dengan menyediakan fasilitas penyimpanan.
f. perantara dapat membantu di bidang keuangan dengan menyediakan sejumlah dana untuk dipinjamkan
g. keuntungan lain yang dapat diharapkan oleh produsen dari perantara adallah:
- membantu dalam pencarian konsumen
- menbantu dalam kegiatan promosi
- membantu dalam penyedian informasi
- membantu dalam pengepakan dan pembungkusan
- membantu dalam penyotiran

PERANTARA PEDAGANG

perantara pedagang besar ini bertabggung jawab terhadap pemilikan semua barang yang dipasarkannya, diantaranya:
1. pedagang besar
adalah sebuah unit usaha yang membeli dan menjual kembali berang-barang kepada pengecer dan pedangang lain dan atau kepada pemakai industri, pemakai lembaga, dan pemakai komersial yang tidak menjual dalm volume yang sama kepada konsumen akhir.
2. Pengecer
adalah sebuah lembaga yang melakukan kegiatan usaha menjual barnag kepada konsumen akhir untuk keperluan pribadi.
PERANTARA AGEN
perantar agen beda dengan perantara pedagang karena tidak mempunyai hak milik atas semua barang yang ditanganinya. Definisi agen adalah lembaga yang melaksanakan perdagangan dengan menyediakan jasa-jasa atau fungsi khusus yang berhubungan dengan penjualan atau distribusi barang, tetapi mereka tidak mempunyai hak untuk memiliki barang yang diperdagangkan.
Perantara agen digolongkan dalam 2 golongan:
1. agen penunjang merupakan agen yang mengkhususkan kegiatannya dalam pemindahan barang dan jasa. Mereka terbagi dalam bebrapa golongan”
a. agen pengangkutan borongan
b. agen penyimpanan
c. agen pengangkutan khusus
d. agen pembelian dan penjualan
2. agen pelengkap berfungsi melaksanaakan jasa-jasa tambahan dalam penyaluran barng dengantujuan memperbaiki adanya kekurangan-kekurangan. Jasa-jasa yang dilakukannya antara lain :
- jasa pembimbingan/ konsultasi
- jasa finansial
- jasa informasi
- jasa khusus lainnya
Berdasarkan macam jasa , agen pelengkap dapat digolongkan ke dalam:
a. agen yang membantu du bidang keuangan seperti Bank.
b. agen yang membantu mengambil keputusan. Seperti biro iklan, dan lembaga penelitian
c. agen yang menyediakan informasi. Seperti: televisi, dan surat kabar
d. agen khusus yang tidak termasuk dalam ketiga golongan diatas.

ASPEK HUKUM DALAM PERBANKAN SYARIAH


ASPEK HUKUM DALAM PERBANKAN SYARIAH


Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin. Fungsi-fungsi bank telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi tersebut adalah menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang. Rasulullah SAW yang dikenal julukan al Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya1. dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya utuh. Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak.
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untukmembayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di jaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit (English: credit; Romawi : credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (English: check; France : Cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.
Dari segi ontologi, tujuan pendirian bank-bank Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia adalah mengikuti perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, khususnya memungut riba dalam pinjam-meminjam. Ini berbeda dengan tujuan pendirian bank-bank konvensional, yaitu menyediakan pinjaman dengan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat yang membutuhkan. Dengan kata lain, bank konvensional adalah lembaga perantara keuangan. Tujuan lebih lanjut adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisnis dengan memanfaatkan simpanan masyarakat yang memiliki dana surplus setelah dikurangi konsumsi.
Maka, dari segi aksiologi, bank syariah, yang semula disebut bank Islam, didirikan untuk menerapkan hukum Islam, sedangkan bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara epistemologi, pengelolaan bank konvensional berpedoman pada manajemen perbankan. Akan tetapi, dalam bank syariah, manajemen perbankan harus mengikuti hukum-hukum syariah. Itu sebabnya bank syariah memiliki lembaga pengawasan, disebut Dewan Syariah, dibentuk oleh otoritas keagamaan, Majelis Ulama Indonesia atau di Malaysia, Dewan Ugama.
Mengingat motifnya bukan bisnis, pernah ada yang mengatakan, bank syariah akan sulit berkembang, tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya. Perbankan syariah berkembang meski awalnya dijumpai kesulitan menghimpun dana untuk modal awal sebesar Rp 10 miliar (1990-an). Berkat intervensi negara melalui Presiden Soeharto, dapat dihimpun dana Rp 110 miliar. Langsung dapat dibentuk bank syariah pertama bernama Bank Mu’amalat Indonesia (BMI) dengan CAR amat mencukupi. Namun, kecukupan modal saja tidak mencukupi. Dana selanjutnya diharapkan dari penyimpan pihak ketiga untuk memperbesar modal dan aset. Semula juga diragukan, masyarakat bersedia menabung. Masalahnya, penabung tidak dijanjikan suku bunga pasti, tetapi bergantung pada laba dan bagi hasil. Jika laba bank kecil atau merugi, perolehan bagi hasil nasabah ikut kecil pula.
Maka, agar masyarakat—yang umumnya bermotif ekonomi—mau menyimpan uangnya di bank, perlu dibuktikan bahwa bagi hasil bank syariah lebih tinggi dari bunga bank konvensional. Bank syariah berharap mendapat nasabah emosional dari umat Islam yang takut menjalankan riba. Penyimpan seperti itu ada, bahkan cukup fanatik. Buktinya, saat suku bunga bank mencapai 70 persen pada masa krisis, nasabah emosional itu tetap bertahan dengan tingkat bagi hasil yang jelas lebih rendah. Rush yang diramalkan pun tidak terjadi. Bahkan, bank-bank syariah tetap bertahan, sementara banyak bank konvensional bangkrut karena penarikan dana dan negative spread. Hal ini menjadi bukti keunggulan syariah yang tidak bergantung pada naik-turunnya suku bunga, dibanding bank konvensional.
Bank syariah menunjukkan bukti sukses penerapan syariah di bidang bisnis. Kunci sukses ini ada dalam metode atau cara penerapan.
Pertama, kajian ilmiah tentang riba dan alternatif riba dengan menggunakan teori-teori ekonomi, terutama moneter modern. Hasil kajian itu diterbitkan dalam jurnal-jurnal profesional untuk diketahui dunia akademis. Penerbitan itu menimbulkan aneka perbincangan tanpa melibatkan iman, dogma, dan doktrin keagamaan. Dan, kajian itu bisa diterima dunia akademis untuk dikuliahkan dan dipelajari mahasiswa di universitas terkemuka, seperti Harvard dan Oxford.
Kedua, hasil kajian ilmiah tentang perbankan syariah lalu dikemas menjadi produk-produk perbankan dan ditawarkan ke masyarakat dan dunia bisnis. Sebagian masyarakat menerima produk itu berdasar keyakinan agama, tetapi dunia bisnis ada yang menerima dan menolak produk itu berdasar pertimbangan rasional-ekonomis, yakni untung rugi. Inilah yang mendasari sebagian pemilik dana untuk menginvestasikan dan menyimpan uangnya ke bank syariah.
Ketiga, seperti kebijakan moneter dan perbankan memerlukan legislasi dan regulasi untuk menjamin kepastian hukum, syariat di bidang perbankan ini juga dilegislasikan, biasanya setelah didiskusikan secara publik melalui seminar-seminar. Pelegislasian syariat itu dilakukan melalui cara demokratis.
Meskipun UU dan peraturan perbankan syariat telah menjadi hukum positif, tetapi realisasinya tetap bersifat sukarela karena, menurut Sjafruddin Prawiranegara SH, mantan Gubernur BI, hukum syariat adalah sebuah voluntary law. Dengan perlindungan hukum, bank syariah berkembang di pasar, bersaing dengan bank-bank konvensional. Konsumen dipersilakan memilih. Hal ini berbeda, misalnya, dengan di Iran, di mana perbankan syariah diberlakukan dengan menutup bank-bank konvensional.
Ada beberapa faktor mengapa perbankan syariah berkembang. Pertama, produk bank syariah memiliki keunggulan, misalnya penyimpan maupun peminjam terhindar dari risiko fluktuasi suku bunga sehingga memudahkan perencanaan usaha. Kedua, produk bank syariah cukup variatif yang tidak bisa dilaksanakan di bank konvensional misalnya sistem gadai atau raihan, mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana bisa menunjuk peminjam dan di bidang apa bisa dan tidak bisa diinvestasikan, juga ijarah muntahya bi al tamlik atau sewa dengan hak untuk memiliki barang di akhir sewa atau hak untuk membeli barang yang telah disewa. Namun, bank syariah juga memiliki hambatan. Pertama, tidak mudah bagi bank syariah untuk mengeluarkan produk baru karena pertimbangan subhat atau meragukan hukumnya yang merupakan grey area dalam penilaian Dewan Syariah. Kedua, jika dana berlebih, hukum syariat melarang bank menyimpannya di SBI. Namun, bisa disimpan di giro wadiah BI yang bagi hasilnya lebih kecil daripada suku bunga SBI. Ketiga, bank syariah terkena pajak untuk transaksi murabahah karena dianggap sebagai produk perdagangan dan bukan hanya produk bank. Agar bisa berkembang, bank syariah harus membuktikan keunggulanya berdasarkan manfaat, baik bagi masyarakat umum maupun dunia bisnis. Kini investor non-Muslim banyak yang tertarik untuk berinvestasi di bank syariah. Demikian pula nasabah rasional sudah melebihi 50 persen dari seluruh nasabah, jadi sudah diterima pasar.
Di AS, para ahli keuangan sudah melirik. Bahkan, mulai mempelajari apakah konsep syariah bisa menjadi alternatif sistem keuangan global yang kini sedang dilanda turbulensi? Di Indonesia, gerakan perkreditan mikro juga bertanya, apakah pendekatan syariah bisa mendukung sistem perkreditan mikro yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat yang sehat, mandiri dan berkelanjutan (sustainable).
Dalam urusan muamalat, hukum asal sesuatu adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul di mana belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadist yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit. Begitu pula Islam menyikapi perbankan atau jihbiz.
Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya perbankan melakukan hal-hal yang dilarang syariah. Nah, dalam praktek perbankan konvensional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan sistem bunga. Bank konvensional tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktek bank konvensional dapat digolongkan sebagai transaksi ribawi.
Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan / deposito / giro.
Riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya. Jelaslah bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan prinsip syariah. Lima transaksi yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah :
1. Transaksi yang tidak mengandung riba.
2. Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan cara jual beli (murabahah).
3. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah)
4. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah)
5. Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan (wadiah).
Dalam ilmu fiqh dikenal tiga jenis riba yaitu: a. Riba Fadl Riba Fadl disebut juga riba buyu yaitu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Contoh berikut ini akan memperjelas adanya gharar. Ketika kaum Yahudi kalah dalam perang Khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan perang (ghanimah), termasuk diantaranya adalah perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup kaum muslimin yang sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas tersebut, yang akan dibayar dengan uang yang terbuat dari emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham). Jadi se-benarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak . Perhiasan perak dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum muslimin kepada kaum Yahudi seharga dua atau tiga dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih tinggi dari sekedar 2-3 dirham. Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perakdan nilai uang perak (dirham). Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW mencegahnya dan bersabda: “Dari Abu Said al-Khdri ra, Rasul SAW bersabda : Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran,timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) kelebihannya adalah riba.” (Riwayat Muslim) Di luar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama. Rasul SAW bersabda: “Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sha dengan dua sha karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama).
Seorang bertanya : wahai Rasul: bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW “Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).”(HR Ahmad dan Thabra¬ni). Dalam perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot). b. Riba Nasi’ah Riba Nasi’ah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, ha¬nya karena berjalannya waktu. Nasi ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi ah mun¬cul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan an¬tara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al ghunmu (untung) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada ke¬mungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang di luar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman (QS AI Hasyr, 18 dan QS Luqman, 34). Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini, dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
Pendapat Imam Sarakhzi akan memperjelas hal ini. “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut” (Imam Sarakhsi dalam al-Mabsut, juz. Xll., hal. 109). Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro. c. Riba Jahiliyah Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari po¬kok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembali¬kan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan6. Riba Ja¬hiliyah dilarang karena pelanggaran kaedah “Kullu Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahan¬nya, riba jahiliyah tergolong Riba Nasi ah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl. Tafsir Qurtuby menjelaskan: “Pada Zaman Jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada para debitur : “Lunaskan hu¬tang anda sekarang, atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan” “Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewa¬jiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru. ” (Tafsir Qurtubi, 2/1157). Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.
Selama periode krisis ekonomi, bank syariah masih dapat menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan dengan lembaga perbankan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari relatif rendahnya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (nonperforming financing) pada bank syariah dan tidak terjadinya negative spreaddalam kegiatan operasionalnya. Pengalaman historis tersebut telah memberikan harapan kepada masyarakat akan hadirnya sistem perbankan syariah sebagai alternatif sistem perbankan yang selain memenuhi harapan masyarakat dalam aspek syariah juga dapat memberikan manfaat yang luas dalam perekonomian.
Saat ini terdapat 20 persen market share syariah loyalis dengan karakteristik antara lain mereka menghindari segala macam bentuk riba (bunga/bank konvensional), cenderung untuk menggunakan lebih dari satu bank syariah, dan memiliki kecenderungan untuk berpindah dari satu bank ke bank syariah lain. Dengan demikian loyalis syariah di sektor UMKM terdapat sekitar delapan juta pengusaha dengan potensi pembiayaan yang bisa mencapai Rp 60 triliun, potensi revenue sekitar Rp 18 triliun. Saat ini masih sedikit bahkan belum ada perbankan syariah yang secara serius dan fokus menggarap sektor mikro. Hal ini karena sektor ini memiliki kekhasan tersendiri baik mengenai delivery channel, prosedur dan proses, maupun sumber daya insaninya. Distribusi pengusaha UMKM yang memancar luas melewati batas-batas teritorial dan sosial, telah mensyaratkan adanya jaringan perbankan syariah yang memiliki keluasan jangkauan pelayanan. Terbatasnya jaringan kantor bank syariah menyebabkan pengenalan dan pengalaman masyarakat menggunakan jasa perbankan syariah terbatas pula. Oleh karenanya, perluasan jaringan menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menggarap segmen ini. Salah satu karakteristik pengusaha UMKM adalah keinginan kemudahan syarat dan proses dalam pengajuan pembiayaan. Mereka biasanya banyak yang secara bisnis cukup feasible, tetapi terkendala dengan keterbatasan-keterbatasan, seperti jaminan dan kelengkapan administrasi (TDP, SIUP, NPWP). Biasanya bank memberikan ketentuan persyaratan jaminan yang cukup ketat. Misalkan, jaminan tanah dan bangunan harus lengkap dengan sertifikatnya, IMB, lebar jalan lebih dari empat meter, serta harus diasuransikan. Ini tentu saja sangat menyulitkan para pengusaha sektor mikro.
Karenanya, perlu ada semacam deregulasi ketentuan pemberian pembiayaan terhadap pengusaha sektor mikro . Jangan lagi mendasarkan pada collateral basis, tetapi beralihlah pada character basis karena pada dasarnya pengusaha sektor ini enggan dan malu berutang, apalagi untuk memacetkan hutangnya. Dengan character basis ini, pihak bank harus tahu persis tentang karakter para pengusaha di daerah setempat. Dalam hal ini pihak bank bisa berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat, ketua pasar, dan kelompok masyarakat lainnya. Para pelaku UMKM memiliki keragaman karakteristik sesuai latar belakang budaya daerah setempat. Keragaman ini tidak bisa diatasi dengan suatu pola pendekatan yang sama. Kualifikasi sumber daya insani perbankan syariah tidak semata-mata diukur dengan pemahaman mengenai produk-produk perbankan Syariah, tetapi juga harus memiliki pengalaman dan kemampuan menjalin hubungan dengan nasabah yang memiliki beragam karakteristik sesuai latar belakang budaya setempat. Dengan demikian, kita harapkan perbankan syariah dapat meningkatkan peranannya dalam memenuhi harapan masyarakat terutama di sektor UMKM.
Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini
banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain
istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free
Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a
Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis
yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank
Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah”.
Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10
Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan makalah ini disingkat UUPI),
membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana
disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian
prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank
konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam
bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis
keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang
dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari
pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai
imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit
margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari
mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah
dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank
Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance
dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar
transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta
sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank
Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli),
ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI PERBANKAN DAN ASURANSI


ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI PERBANKAN DAN ASURANSI

Hukum Perbankan
Undang-Undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan yang telah diubah dengan undang-undang no.10 tahun 1998. Memeberikan landasan prevensi bagi bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, sehingga kepentingan masyarakat maupun kelangsungan hidup bisnis perbankan nasional dapat terlindungi.
unsur unsur hukum perbankan adalah :
1. serangkaian ketentuan hukum positif(perbankan). ketentuan hukum perbankan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan. baik berupa undang-undang peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan bank indonesia, keputusan direksi dan surat edaran bank indonesia dan peraturan pelaksana lainnya.
2. hukum positif (perbankan) tersebut bersumber ketentuan tertulis dan tidak tertulis. tertulis adalah ketentuan dibentuk badan pembentuk hukum dan perundangan yang berwenang, baik berupa peraturan original maupun peraturan derevatif. sedangkan ketentuan yang tidak  tertulis adalah ketentuan yang timbul dan terpelihara dalam praktek  penyelenggaraan operasional perbankan.
4. ketentuan hukum perbankan mengatur tatalaksana kelembagaan bank, yang ,mencakup perizinan bentuk hukum kepengurusan , dan kepemilikan bank.
5. ketentuan hukum bank mengatur aspek kegiatan keusahaanya. fungsi bank sebagai penghimpun dana masyarakat.
Ada beberapa contoh kasus dalam ekonomi perbankan, diantaranya:
Praktek pencucian uang : Kejahatan pencucian uang ini di dalam ilmu kriminologi dikategorikan merupakan salah satu bentuk kejahatan organizated crime karena didalam kejahatan ini terdapat pihak-pihak tertentu yang ikut serta. Pada dekade 1980-an uang haram ini semakin berkembang hal ini di tandai dengan berkembangnya bisnis-bisnis haram seperti perdagangan narkoba dan obat bius yang membuat untung miliaran dollar kemudian munculah istilah narco dollar. Tidak hanya kegiatan perdagangan narkoba, akan tetapi kegiatan perjudian dan pelacuran turut meramaikan perkembangan money loundring pada dekade 1980-an ini. Sumber-sumber uang inilah yang kita kenal dengan pencucian uang, lalu uang ini di masukkan pada sektor legal dan uang itu pun menjadi tercuci bersih.Sejalan dengan kemajuan IPTEK ternyata sektor perbankan merupakan sasaran empuk untuk kegiatan pencucian uang mengingat dari sektor inilah yang paling memungkinkan untuk hal ini. Sektor perbankan merupakan sebuah sektor yang memberikan layanan pada lalu lintas keuangan yang dapat dipakai untuk menyembunyikan asal usul uang haram ini.

Korupsi : Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Hukum Asuransi
Pengertian Asuransi
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak penanggung mengambil alih suatu risiko dari pihak tertanggung. Pengalihan risiko tersebut meliputi kemungkinan kerugian material dialami tertanggung akibat suatu peristiwa yang mungkin atau belum pasti akan terjadi.

Perjanjian asuransi adalah sebuah kontrak legal yang menjelaskan setiap istilah dan kondisi yang dilindungi, premi yang harus dibayar oleh tertanggung kepada penanggung sebagai jasa pengalihan risiko tersebut, serta besarnya dana yang bisa diklaim di masa depan, termasuk biaya administratif dan keuntungan.

Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1992 Pasal 1 :
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.

Pada hakekatnya asuransi adalah suatu perjanjian antara nasabah asuransi (tertanggung) dengan perusahaan asuransi (penanggung) mengenai pengalihan resiko dari nasabah kepada perusahaan asuransi.

Objek pertanggungan dalam perjanjian asuransi bisa berupa benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan, tanggung jawab hukum, serta berbagai kepentingan lain yang mungkin hilang, rusak, atau berkurang nilainya.

Dengan kata lain, unsur-unsur dalam sebuah perjanjian asuransi meliputi hal-hal berikut :
Subjek hukum, yaitu pihak penanggung dan tertanggung.
Substansi hukum berupa mengalihan risiko.
Objek pertanggungan, berupa benda atau kepentingan yang melekat padanya yang bisa dinilai dengan uang.
Adanya peristiwa tidak tentu yang mungkin terjadi (evenement).

Sebuah perjanjian asuransi dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang saling mengikatkan diri.
Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Adanya hal tertentu yang menjadi sebab yang halal.

Premi dan Polis
Dalam hukum asuransi, dikenal kata premi dan polis. Berikut ini adalah penjelasannya.
Premi adalah suatu prestasi yang diberikan oleh tertanggung kepada penanggung atas jasanya mengambil alih risiko. Premi adalah kewajiban pokok yang harus dipenuhi oleh tertanggung dan bisa dianggap sebagai imbalan atas jasa penanggung.
Perjanjian pengalihan risiko dalam hukum asuransi harus dibuat secara tertulis dalam sebuah akta tertentu yang menjelaskan tentang unsur-unsur perjanjian tersebut. Akta ini disebut polis dan digunakan sebagai alat bukti perjanjian pertanggungan. Dalam hukum asuransi, polis dibuat oleh pihak tertanggung.

Risiko dan Evenement
Risiko yang dialihkan dari tertanggung kepada penanggung, dalam arti asuransi adalah berupa kemungkinan terjadinya kerugian, serta batalnya sebagian atau keseluruhan keuntungan yang diharapkan, yang diakibatkan oleh suatu kejadian luar biasa yang tidak terprediksi, di luar kekuasaan manusia.

Peristiwa tidak terduga itu disebut evenement, sebuah peristiwa tidak terduga yang menurut pengalaman normal tidak bisa dipastikan akan terjadi. Kalaupun peristiwa tersebut bisa dipastikan terjadi, kematian misalnya, waktunya tidak bisa dipastikan. Peristiwa tersebut juga berupa sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Jika terjadi, akan menimbulkan kerugian atau membatalkan keuntungan.

Dalam menghitung risiko yang ditanggungkan, perusahaan asuransi menerapkan ilmu aktuaria yang menggunakan matematika, terutama statistika dan probabilitas.

Prinsip Dasar Asuransi
Terdapat 6 prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam asuransi :
Insurable interest, hak pertanggungan yang timbul dari sebuah hubungan keuangan, yang diakui secara hukum.
Utmost good faith, mengungkapkan secara lengkap mengenai sesuatu yang dipertanggungkan. Dalam hal ini, kedua belah pihak harus jujur menjelaskan mengenai kondisi objek dan luasnya pertanggungan.
Proximate cause, adanya kejadian yang menyebabkan kerugian tanpa adanya intervensi atas kejadian tersebut.
Indemnity, kompensasi finansial yang disediakan penanggung untuk mengembalikan tertanggung pada posisi finansial sesaat sebelum sebuah kejadian enverement terjadi.
Subrogation, hak tuntut dari tertanggung kepada penanggung.
Contribution, hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya dalam bentuk kerja sama atau gotong royong.

Manfaat Asuransi
Berikut ini adalah beberapa manfaat asuransi :
Jaminan perlindungan atas risiko kerugian tidak terduga.
Efisiensi dalam pengamanan dan pengawasan terhadap suatu barang atau objek.
Biaya premi relatif kecil untuk menghindari suatu potensi risiko yang tidak terduga.
Berdampak pada pemerataan biaya, dari sesuatu yang tak terprediksi menjadi biaya yang jumlahnya tertentu.
Dalam kaitannya dengan hubungan bisnis, asuransi yang dimiliki pihak tertanggung memberi kepercayaan kepada pihak ketiga untuk menjalin hubungan bisnis, misalnya peminjaman uang, kredit, sewa beli, dan sebagainya.
Untuk asuransi jiwa, premi bisa dinilai sebagai tabungan karena jumlah yang dibayar tertanggung akan dikembalikan oleh perusahaan asuransi dalam jumlah yang lebih besar.

Sejarah Asuransi
Diharapkan dengan mengawali pengetahuan tentang Sejarah Asuransi dengan lebih mudah karena akan lebih menghayati atau menjiwai tentang latar belakang dan asal usulnya. Dari penggalian sejarah perekonomian dan kebudayaan manusia, sejak zaman sebelum masehi ditemukan riwayat asal usul sampai perkembangan asuransi seperti sekarang ini. Pada perkembangan awalnya asuransi tentu belum berbentuk seperti sekarang, namun dalam bentuk yang masih samar. Manusia pada umumnya mempunyai naluri selalu berusaha menyelamatkan jiwanya dari berbagai ancaman, termasuk ancaman kekurangan makan/pangan.

Salah satu riwayat mengenai masalah ini tercantum pada Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 43 – 49 dan Kitab Injil Perjanjian Lama Genesis 41. Diriwayatkan tentang salah seorang Raja di Negeri Mesir yang bermimpi melihat tujuh ekor sapi yang kurus-kurus masingrmasing menelan seekor sapi yang gemuk. Dalam mimpinya yang kedua Raja melihat tujuh butir gandum yang kosong. Nabi Yusuf A.S. diminta menafsirkan mimpi tersebut dan menerangkan bahwa negara Mesir akan mengalami tujuh tahun berturut-turut panen gandum yang subur dan kemudian tujuh tahun berikutnya berturut-turut akan mengalami masa paceklik. Selanjutnya NabiYusuf AS. memberi saran agar pada saat panen yang melimpah itu sebagian panen dicadangkan untuk masa paceklik yang akan datang.

Selain itu sebuah buku kuno dari India yang dinami “Rig Veda” yang ditulis dalam bahasa Sansekerta menyebutkan riwayat tentang “Yoga Kshema” yang berarti pertanggungan. Riwayat di atas adalah sebagai bukti bahwa manusia senantiasa memikirkan dan mempersiapkan kehidupan masa depannya.

Sekitar tahun 2250 SM bangsa Babylonia hidup di daerah lembah sungai Euphrat dan Tigris (sekarang menjadi wilayah Irak), pada waktu itu apabila seorang pemilik kapal memerlukan dana untuk mengoperasikan kapalnya atau melakukan suatu usaha dagang, ia dapat meminjam uang dari seorang saudagar (Kreditur) dengan menggunakan kapalnya sebagai jaminan dengan perjanjian bahwa si Pemilik kapal dibebaskan dari pembayaran hutangnya apabila kapal tersebut selamat sampai tujuan, di samping sejumlah uang sebagai imbalan atas risiko yang telah dipikul oleh pemberi pinjaman. Tambahan biaya ini dapat dianggap sama dengan “uang premi” yang dikenal pada asuransi sekarang. Di samping kapal yang dijadikan barang jaminan, dapat pula dipakai sebagai jaminan berupa barang-barang muatan (Cargo). Transaksi seperti ini disebut “RESPONDENT/A CONTRACT”.

Sejarah Asuransi Di Indonesia
Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie. Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.

Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha pera.suransian di Indonesia dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942 dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, hampir tidak mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah :
Perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh orang Belanda.
Perusahaan-perusahaan yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.

Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat, lebih-lebih oleh masyarakat pribumi.

Jenis asuransi yang telah diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi milik Belanda dan Inggris


Resiko yang dialihkan meliputi: kemungkinan kerugian material yang dapat dinilai dengan uang yang dialami nasabah, sebagai akibat terjadinya suatu peristiwa yang mungkin/belum pasti akan terjadi (Uncertainty of Occurrence & Uncertainty of Loss). Misalnya :
Resiko terbakarnya bangunan dan/atau Harta Benda di dalamnya sebagai akibat sambaran petir, kelalaian manusia, arus pendek.
Resiko kerusakan mobil karena kecelakaan lalu lintas, kehilangan karena pencurian.
Meninggal atau cedera akibat kecelakaan, sakit.
Banjir, Angin topan, badai, Gempa bumi, Tsunami

Setiap asuransi pasti bermanfaat, yang secara umum manfaatnya adalah :
Memberikan jaminan perlindungan dari risiko-risiko kerugian yang diderita satu pihak.
Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
Transfer Resiko; Dengan membayar premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan dapat memindahkan ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (resiko) ke perusahaan asuransi
Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tentu dan tidak pasti.
Dasar bagi pihak bank untuk memberikan kredit karena bank memerlukan jaminan perlindungan atas agunan yang diberikan oleh peminjam uang.
Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar kepada pihak asuransi akan dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini khusus berlaku untuk asuransi jiwa.
Menutup Loss of Earning Power seseorang atau badan usaha.

Landasan Hukum
Secara yuridis, hukum asuransi di Indonesia tertuang dalam beberapa produk hukum seperti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Menteri Keuangan, di antaranya sebagai berikut.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
KMK No.426/KMK/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
KMK No.425/KMK/2003 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi.
KMK No.423/KMK/2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian.

HUKUM DAGANG


HUKUM DAGANG

Perdagangan atau perniagaan pada umumnya ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan. Dalam zaman modern ini perdagangan adalah pemberian perantaraan kepada produsen dan konsumen untuk membelikan dan menjualkan barang-barang yang memudahkan dan memajukan pembelian dan penjualan.
Jenis-jenis perdagangan dibagi menjadi tiga, yaitu :
·                     Menurut pekerjaan yang dilakukan pedagang, yaitu :
-          Perdagangan mengumpulkan (produsen – tengkulak – pedagang besar – eksportir)
-          Perdagangan menyebutkan (importir – pedagang besar – pedagang menengah – konsumen)
·                     Menurut jenis barang yang diperdagangkan, yaitu :
-          Perdagangan barang A yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani manusia. Contoh: (hasil pertanian, pertambangan, pabrik)
-          Perdagangan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rohani manuia. Contoh (kesenian, musik)
-          Perdagangan uang dan kertas-kertas berharga (bursa efek)
·                     Menurut daerah, tempat perdagangan itu dilakukan, yaitu :
-          Perdagangan dalam negeri
-          Perdagangan internasional A terdiri atas perdagangan ekspor dan perdagangan impor
-          Perdagangan meneruskan (perdagangan transito)
Menurut Soesilo Prajogo yang dimaksud Hukum Dagang adalah “Pada hakekatnya sama dengan hukum perdata hanya saja dalam hukum dagang yang menjadi objek adalah perusahaan dengan latar belakang dagang pada umumnya termask wesel, cek, pengangkutan, asuransi dan kepalitan.
Sumber-sumber hukum dagang Indonesia :
1.      Pengaturan Hukum di Dalam Kodifikasi
2.                  Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Ketentuan KUHPerdata yang secara nyata menjadi sumber hukum dagang adalah tentang perikatan. Hal itu dapat dimengerti, karena sebagaimana dikatakan H.M.N Purwosutjipto bahwa hukum dagang adalah hukum yang timbul dalam lingkup perusahaan. Selain Buku III tersebut, beberapa bagian dari Buku II KUHPerdata tentang Benda juga merupakan sumber hukum dagang, misalnya Titel XXI mengenai Hipotik.
Pengaturan di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
KUHD yang mulai berlaku di Indoneia pada 1 Mei 1848 terbagi atas dua kitab dan 23 bab. Di dalam KUHD jelas tercantum bahwa implementasi dan pengkhususan dari cabang-cabang hukum dagang bersumber pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang Isi pokok daripada KUHD Indonesia adalah:
1.                  Kitab pertama berjudul Tentang Dagang Umumnya, yang memuat 10 bab.
2.                  Kitab kedua berjudul Tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang Terbit dari Pelayaran, terdiri dari 13 bab.
3.                  Pengaturan di Luar Kodifikasi
Sumber-sumber hukum dagang yang terdapat di luar kodifikasi diantaranya adalah sebagai berikut :
-             UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan terbatas
-             UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
-             UU No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Hukum Kebiasaan
Hukum kebiasaan adalah kebiasaan yang sering dilakukan oleh subyek hukum dan sudah menjadi opini umum dan menimbulkan sanksi apabila tidak dilakukan kebiasaan tersebut.
Hukum dagang di Indonesia terutama bersumber pada :
·                     Hukum tertulis yang sudah di kodifikasikan, yaitu :
a.       KUHD (kitab undang-undang hukum dagang) atau wetboek van koophandel Indonesia (W.K)
b.      KUHS (kitab undang-undang hukum sipil) atau Burgerlijk wetboek Indonesia (B.W)
·                     Hukum-hukum tertulis yang belum dikoodifikasikan, yakni perudang-undangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.
Hukum dagang di atas terkait dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelajaran, dan dagang pada umumnya.
KUHD di Indonesia kira-kira satu abad yang lalu di bawa dari Belanda ke tanah air kita, dan KUHD ini berlaku di Indonesia pada 1 Mei 1848 yang kitabnya terbagi atas dua, masing-masing kitab di bagi menjadi beberapa bab tentang hukum dagang itu sendiri. Dan terbagi dalam bagian-bagian, dan masing-masing bagian itu di bagi dalam bagian-bagian dan masing menjadi pasal-pasal atau ayat-ayat. Pada bagian KUHS itu mengatur tentang hukum dagang.
Hal-hal yang diatur dalam KUHS adalah mengenai perikatan umumnya seperti :
·                     Persetujuan jual beli (contract of sale)
·                     Persetujuan sewa-menyewa (contract of hire)
·                     Persetujuan pinjaman uang (contract of loun)
Hukum dagang selain di atur KUHD dan KUHS juga terdapat berbagai peraturan-peraturan khusus (yang belum di koodifikasikan) seperti :
·                     Peraturan tentang koperasi
·                     Peraturan pailisemen
·                     Undang-undang oktroi
·                     Peraturan lalu lintas
·                     Peraturan maskapai andil Indonesia
·                     Peraturan tentang perusahaan negara
Hubungan Hukum Perdata dan KUHD
Hukum dagang merupakan keseluruhan dari aturan-aturan hukum yang mengatur dengan disertai sanksi perbuatan-perbuatan manusia di dalam usaha mereka untuk menjalankan usaha atau perdagangan.
Menurut Prof. Subekti, S.H berpendapat bahwa :  Terdapatnya KUHD dan KUHS sekarang tidak dianggap pada tempatnya, oleh karena “Hukum Dagang” tidak lain adalah “hukum perdata” itu sendiri melainkan pengertian perekonomian.
Hukum dagang dan hukum perdata bersifat asasi terbukti di dalam :
·                     Pasal 1 KUHD
·                     Perjanjian jual beli
·                     Asuransi yang diterapkan dalam KUHD dagang
Dalam hubungan hukum dagang dan hukum perdata dibandingkan pada sistem hukum yang bersangkutan pada negara itu sendiri. Hal ini berarti bahwa yang di atur dalam KUHD sepanjang tidak terdapat peraturan-peraturan khusus yang berlainan, juga berlaku peraturan-peraturan dalam KUHS, bahwa kedudukan KUHD terdapat KUHS adalah sebagai hukum khusus terhadap hukum umum.
Perantara dalam Hukum Dagang
Pada zaman modern ini perdagangan dapat diartikan sebagai pemberian perantaraan dari produsen kepada konsumen dalam hal pembelian dan penjualan.
Pemberian perantaraan produsen kepada konsumen dapat meliputi aneka macam pekerjaan seperti misalnya :
·                     Perkerjaan perantaraan sebagai makelar, komisioner, perdagangan dan sebagainya.
·                     Pengangkutan untuk kepentingan lalu lintas baik di darat, laut dan udara
·                     Pertanggungan (asuransi) yang berhubungan dengan pengangkutan, supaya pedagang dapat menutup resiko pengangkutan dengan asuransi.
Pengangkutan
Pengangkutan adalah perjanjian di mana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang/barang dari satu tempat ke lain tempat, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar ongkos. Menurut undang-undang, seorang pengangkut hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengakutan saja, tidak perlu ia sendiri yang mengusahakan alat pengangkutan.
Di dalam hukum dagang di samping conossement masih di kenal surat-surat berharga yang lain, misalnya, cheque, wesel yang sama-sama merupakan perintah membayar dan keduanya memiliki perbedaan.
Cheque sebagai alat pembayaran, sedangkan wesel di samping sebagai alat pembayaran keduanya memiliki fungsi lain yaitu sebagai barang dagangan, suatu alat penagihan, ataupun sebagai pemberian kredit.
Asuransi
Asuransi adalah suatu perjanjian yang dengan sengaja digantungkan pada suatu kejadian yang belum tentu, kejadian mana akan menentukan untung ruginya salah satu pihak. Asuransi merupakan perjanjian di mana seorang penanggung, dengan menerima suatu premi menyanggupi kepada yang tertanggung, untuk memberikan penggantian dari suatu kerugian atau kehilangan keuntungan yang mungkin di derita oleh orang yang ditanggung sebagai akibat dari suatu kejadian yang tidak tentu
Sumber-sumber Hukum
Sumber-sumber hukum meliputi yang terdapat pada :
·                     Kitab undang-undang hukum perdata
·                     Kitab undang-undang hukum dagang, kebiasaan, yurisprudensi dan peraturan-peraturan tertulis lainnya antara lain undang-undang tentang bentuk-bentuk usaha negara (No.9 tahun 1969)
·                     Undang-undang oktroi
·                     Undang-undang tentang merek
·                     Undang-undang tentang kadin
·                     Undang-undang tentang perindustrian, koperasi, pailisemen dan lain-lain.
Persetujuan Dagang
Dalam hukum dagang di kenal beberapa macam persekutuan dagang, antara lain :
·                     Firma
·                     Perseroan komanditer
·                     Perseroan terbatas
·                     Koperasi

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(Wetboek van Koophandel voor Indonesie)
S. 1847-23.
Anotasi:
Seluruhnya KUHD ini berlaku untuk golongan Timur Asing bukan Tionghoa dan golongan Tionghoa, kecuali dengan perubahan redaksional pasal 396; S. 1924-556, pasal 1, B; S. 1917-129, pasal I sub 21.
KETENTUAN UMUM.
Pas. 1. (s.d.u. dg. S. 1938-276.) Selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak diadakan penyimpangan khusus, maka Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku juga terhadap hal-hal yang dibicarakan dalam K-itab Undang-undang ini. (AB. 15; KUHPerd. 1617, 1774, 1878; KUHD 15, 79 dst., 85, 119, 168a, 286, 296, 747, 754.)
Alinea kedua gugur berdasarkan S. 1938-276.
B U K U K E S A T U : DAGANG PADA UMUMNYA.
Berdasarkan S. 1938-276 yang berlaku mulai pada 17 Juli 1938 maka Bab I tentang Pedagang dan Perbuatan Dagang (pasal 2 sld 5) telah dihapus.
BAB II. PEMBUKUAN.
Pasal 6.
(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang sedemikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui semua hak dan kewajibannya. (KUHD 35, 66, 86, 96, 348; KUHP 396 dst.)
Ia diwajibkan dalam enam bulan pertama dari tiap-tiap tahun untuk membuat neraca yang diatur menurut syarat-syarat perusahaannya dan menandatanganinya sendiri. (KUHPerd. 1881.)
Ia diwajibkan menyimpan selama tiga puluh tahun, buku-buku dan surat-surat di mana ia menyelenggarakan catatan-catatan dimaksud dalam allnea pertama beserta neracanya, dan selama sepuluh tahun, surat-surat dan telegram-telegram yang diterima dan salinan-salinan surat-surat dan telegiram-telegram yang dikeluarkan. (KUHD 35.)
Pasal 7.
(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Untuk kepentingan setiap orang, hakim bebas untuk memberikan kepada pemegang-buku, kekuatan bukti sedemikian rupa yang menurut pendapatnya harus diberikan pada masing-masing kejadian yang khusus. (KUHPerd. 1881; KUHD 12, 35, 67, 86.)
Pasal 8.
(s.d.u. dg. S. 1938-276.) Sewaktu pemeriksaan perkara di sidang pengadilan berjalan, hakim dapat menentukan atas permintaan atau karena jabatannya, kepada masing-masing pihak atau kepada salah satu pihak untuk membuka bukubuku yang diselenggarakan, surat-surat dan naskah-naskah yang harus dibuat atau disimpan oleh mereka menurut pasal 6 alinea ketiga, agar dapat dilihat di dalamnya atau dibuat petikan-petikannya sebanyak yang dibutuhkan berkenaan dengan soal yang dipersengketakan.
Hakim dapat mendengar para ahli mengenai sifat dan isi surat-surat yang diperlihatkan, baik pada sidang pengadilan maupun dengan cara seperti yang diatur dalam pasal-pasal 215 sampai dengan 229 Reglemen Acara Perdata. (Rv.)
Dari tidak dipenuhinya perintahnya itu, hakim bebas untuk mengambil kesimpulan yang sebaiknya menurut pendapatnya. (KUHPerd. 1888, 1915 dst.; KUHD 67.)
Pasal 12.
(s.d.u. dg. S. 1927-146; S. 1938-276.) Tiada seorang pun dapat dipaksa untuk memperlihatkan pembukuarinya kecuali untuk mereka yang mempunyai kepentingan langsung sebagai ahli waris, sebagai pihak yang berkepentingan dalam suatu persekutuan, sebagai pesero, sebagai pengangkat Pimpinan perusahaan atau pengeloIa dan akhirnya dalam hal kepailitan. (KUHPerd. 573, 1082; KUHD 35, 67.)