Selamat membaca

Laman

Senin, 26 September 2011

Pak Harto Selamatkan Bangsa dari Kehancuran

   
Prof.Dr.H.Emil Salim:

Sejarah pertumbuhan ekonomi di awal era Orde Baru, sebetulnya patut diacungi jempol. Jika toh sekarang rezim Soeharto dituding hanya mewariskan utang bertumpuk-tumpuk atau sisa kebobrokan sistem ekonomi mikro dan makro yang menyesakkan, pemerintah Orde Baru ternyata pernah menyelamatkan bangsa ini dari gelombang kehancuran.

Laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI contohnya, bisa dibilang edan. Jangan kaget, indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali! Harga beras naik 824 kali! Harga tekstil naik 717 kali! Nah, sementara harga-harga itu mengganas, nilai rupiah sekarat dari Rp.160 saja menjadi Rp.120 ribu!

Itu semua agaknya menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Belum lagi persoalan ekonomi yang mencabuti satu per satu ajal rakyat Indonesia ini masih harus dipinggirkan oleh drama pergulatan politik nasional. Selepas pecahnya gerakan 30 September, panggung politik nasional memang diwarnai intrik-intrik dahsyat merebut tampuk kekuasaan pemerintah.

Di tengah pergulatan elit politik nasional, penanganan masalah ekonomi terpaksa menempuh cara-cara politis. Maklum dua kekuatan besar -- kelompak komunis dan anti-komunis (digalang ABRI) -- sama-sama bertarung menunggu tangkat estafet kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Desakan hebat untuk membubarkan PKI -- yang disebut-sebut kurang digubris Bung Karna -- memaksa Proklamator RI itu harus lengser dari Istana. la diganti Soeharto, yang sukses menumpas PKI. Demikian Prof.DR.H.Emil Salim mengemukakan pada kuliah program sejarah lisan Indonesia (1965- 1971 ), Kamis, di CSIS (Centre for Strategic and International Studies) Jakarta.

Sanering
Pada awal-awalnya, menurut ekonom Emil Salim dan Frans Seda, pemerintahan Orde Baru diakui cukup progresif. Pemerintahan yang dikomandoi Pak Harto ini mampu memadukan semua komponen masyarakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Di bidang ekonomi, para ekonom dari FE-UI di antaranya, dapat dirangkul dalam menyumbangkan konsep alternatif untuk memulihkan perekonomian nasional.

Misalnya saja sanering rupiah atau menghapus tiga nol di balik angka ribuan tanpa mengusahakan rencana pengendalian defisit anggaran. Meski dinilai konyol, langkah politis-ekonomis ini efektif menerapkan tujuan ganda: memulihkan ekonomi sekaligus mengurangi kontrol kelompok PKI yang menggondol kantung-kantung rupiah.

Kecuali itu, upaya lain yang sempat digalang kelompok ekonom adalah membuat alternatif seperti menaikkan harga bensin atau tarif angkutan umum, serta menaikkan gaji pegawai negeri.

Pintu masukan bagi pemerintah, juga dikukuhkan dalam hasil sidang MPRS Juni 1966. Di sini mulai dibuka kran masukan untuk merumuskan landasan komprehensif mengenai kebijakan ekonomi baru. Ambil contoh, Ketetapan MPRS No. 23/66 tentang pembaharuan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Ketetapan ini memberi dasar bagi Kabinet Ampera (25 Juli 1966) dan Dewan Stabilisasi Ekonomi (11 Agustus 1966) untuk melakukan upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional.

Jurus para ekonom yang diakomodir pemerintahan Orde Baru itu, paling tidak mampu menyusun program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup komprehensif. Ada lima jurus yang dianggap manjur. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir.

Kebijakan jitu lainnya yang digulirkan pemerintah saat itu adalah deregulasi dan debirokratisasi (Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967, dan seterusnya). Pemerintah juga membuka diri untuk penanaman modal asing, meski dilakukan secara bertahap.

Liang Kubur
Hasilnya, laju inflasi mulai jinak. Dari kisaran angka 650 persen (tahun 1966), melunak jadi 100 persen (1967), turun lagi 50 persen (1968), bahkan terkendali di bilangan 13 persen (1969). “Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu," ujar Emil Salim.

Ada pertanyaan dari floor, yang menyebutkan kelompok ekonom macam Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Frans Seda hanya dimanfaatkan pemerintah Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. "Sebagai intelektual, saya hanya memanfaatkan ilmu untuk kepentingan rakyat Indonesia. Terserah orang mau bilang apa,” ujar Emil Salim, menjawab pertanyaan tersebut.

Emil Salim juga mengakui bahwa di era 60-70an Pak Harto begitu piawai memadukan komponen bangsa, sampai-sampai republik ini bisa selamat dari liang kubur di pertengahan tahun 60-an. Bahkan Frans Seda berpendapat, “Memang setelah anak-anaknya (Soeharto) gede, kebijakan ekonomi jadi bias. Setelah merasa memperoleh personalized power, Pak Harto memborong semua sejarah. Seolah-olah, keberhasilan pemerintahan Orde Baru adalah berkat srateginya sendiri!“

Frans Seda berani menilai bahwa pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokratis, terbuka, transparan, dan komunikatif. Itu sebabnya ia memisahkan dua kekuatan, yakni pemerintahan Orde Baru dan rezim Soeharto. Pemerintahan Orde Baru yang membawa semangat murni dan konsekuen dalam menjalankan amanat Pancasila serta UUD 1945, katanya, hanya berkibar sampai 1975/1976. Sedangkan rezim Soeharto bangkit 1983.

Golkar dan ABRI
Di antara 1975 sampai 1983 ini, terjadi proses transisi yang ditandai dua macam krisis. Krisis politik diledakkan oleh peristiwa Malari, sementara krisis ekonomi diwakili oleh kasus Pertamina. Soeharto, memenangi kedua krisis tersebut. sampai kembali terpilih tiga kali berturut-turut dengan dukungan riil Golkar dan ABRI. “Jadi keliru kalau ada yang menyatakan semua komponen pemerintahan Orde Baru itu salah,” katanya menegaskan.

Terlepas dari itu, Emil Salim menggarisbawahi lima butir hikmah yang harus selalu dijadikan pedoman oleh pemerintahan pasca Orde Baru. Pertama, gagasan-gagasan ekonomi harus sederhana dan bisa menyentuh kebutuhan rakyat, dalam arti bergerak pada alam pikir yang rasional. Kedua, mengembangkan jaringan ekonomi yang luas untuk kepentingan yang berkait dengan gagasan-gagasan pembaharuan. Ketiga, bekerja dalam skala prioritas, misalnya membuat evaluasi kerja per 1OO hari, 1000 hari atau sejuta hari. Keempat, alur fragmatisme harus dijadikan acuan untuk mencari jalan keluar. Dan yang kelima, orientasi tanpa pamrih demi rakyat kecil.

Catatan lain menyibak sosok Presiden Bung Karno sebagai pemimpin yang tidak mau dipusingkan oleh urusan ekonomi, alias cuma mau mengurusi politik tok. Sebab itu, ia lantas menunjuk Mohammad Hatta. Padahal, kebijakan ekonomi tanpa diimbangi oleh kebijakan politik yang padu, adalah sebuah ketimpangan. Dan, akankah ketimpangan serupa juga bakal dijalankan oleh pemerintah mendatang?

*** Soeharto Media Center, Sumber Hasyim, Suara Karya 27 Agustus 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar