Perbankan adalah suatu lembaga yang
melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang,
dan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin.
Fungsi-fungsi bank telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi
tersebut adalah menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan
konsumsi dan keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang. Rasulullah SAW
yang dikenal julukan al Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan
harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau
meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang
memilikinya1. dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta
titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih
tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk
pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama,
dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya;
kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya utuh.
Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga
tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya
Misab bin Zubair yang tinggal di Irak.
Penggunaan cek juga telah dikenal
luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman,
yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin
Khattab ra, beliau menggunakan cek untukmembayar tunjangan kepada mereka yang
berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang
ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi
hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara ah, musaqah, telah dikenal sejak
awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jelaslah bahwa ada
individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di jaman Rasulullah
SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan.
Ada yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang
melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksakan fungsi pengiriman
uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.
Beberapa istilah perbankan modern
bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit (English:
credit; Romawi : credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa
inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard
dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah
cek (English: check; France : Cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq).
Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang
biasa digunakan di pasar.
Dari segi ontologi, tujuan pendirian
bank-bank Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia adalah mengikuti perintah
Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, khususnya memungut riba dalam pinjam-meminjam.
Ini berbeda dengan tujuan pendirian bank-bank konvensional, yaitu menyediakan
pinjaman dengan menghimpun dana masyarakat dan menyalurkan ke masyarakat yang
membutuhkan. Dengan kata lain, bank konvensional adalah lembaga perantara
keuangan. Tujuan lebih lanjut adalah mendorong pertumbuhan ekonomi dan bisnis
dengan memanfaatkan simpanan masyarakat yang memiliki dana surplus setelah
dikurangi konsumsi.
Maka, dari segi aksiologi, bank
syariah, yang semula disebut bank Islam, didirikan untuk menerapkan hukum
Islam, sedangkan bank konvensional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Secara
epistemologi, pengelolaan bank konvensional berpedoman pada manajemen
perbankan. Akan tetapi, dalam bank syariah, manajemen perbankan harus mengikuti
hukum-hukum syariah. Itu sebabnya bank syariah memiliki lembaga pengawasan,
disebut Dewan Syariah, dibentuk oleh otoritas keagamaan, Majelis Ulama
Indonesia atau di Malaysia, Dewan Ugama.
Mengingat motifnya bukan bisnis,
pernah ada yang mengatakan, bank syariah akan sulit berkembang, tetapi
kenyataan menunjukkan sebaliknya. Perbankan syariah berkembang meski awalnya
dijumpai kesulitan menghimpun dana untuk modal awal sebesar Rp 10 miliar
(1990-an). Berkat intervensi negara melalui Presiden Soeharto, dapat dihimpun
dana Rp 110 miliar. Langsung dapat dibentuk bank syariah pertama bernama Bank
Mu’amalat Indonesia (BMI) dengan CAR amat mencukupi. Namun, kecukupan modal saja
tidak mencukupi. Dana selanjutnya diharapkan dari penyimpan pihak ketiga untuk
memperbesar modal dan aset. Semula juga diragukan, masyarakat bersedia
menabung. Masalahnya, penabung tidak dijanjikan suku bunga pasti, tetapi
bergantung pada laba dan bagi hasil. Jika laba bank kecil atau merugi,
perolehan bagi hasil nasabah ikut kecil pula.
Maka, agar masyarakat—yang umumnya
bermotif ekonomi—mau menyimpan uangnya di bank, perlu dibuktikan bahwa bagi
hasil bank syariah lebih tinggi dari bunga bank konvensional. Bank syariah
berharap mendapat nasabah emosional dari umat Islam yang takut menjalankan
riba. Penyimpan seperti itu ada, bahkan cukup fanatik. Buktinya, saat suku
bunga bank mencapai 70 persen pada masa krisis, nasabah emosional itu tetap
bertahan dengan tingkat bagi hasil yang jelas lebih rendah. Rush yang
diramalkan pun tidak terjadi. Bahkan, bank-bank syariah tetap bertahan,
sementara banyak bank konvensional bangkrut karena penarikan dana dan negative
spread. Hal ini menjadi bukti keunggulan syariah yang tidak bergantung pada
naik-turunnya suku bunga, dibanding bank konvensional.
Bank syariah menunjukkan bukti
sukses penerapan syariah di bidang bisnis. Kunci sukses ini ada dalam metode
atau cara penerapan.
Pertama, kajian ilmiah tentang riba
dan alternatif riba dengan menggunakan teori-teori ekonomi, terutama moneter
modern. Hasil kajian itu diterbitkan dalam jurnal-jurnal profesional untuk
diketahui dunia akademis. Penerbitan itu menimbulkan aneka perbincangan tanpa
melibatkan iman, dogma, dan doktrin keagamaan. Dan, kajian itu bisa diterima
dunia akademis untuk dikuliahkan dan dipelajari mahasiswa di universitas
terkemuka, seperti Harvard dan Oxford.
Kedua, hasil kajian ilmiah tentang
perbankan syariah lalu dikemas menjadi produk-produk perbankan dan ditawarkan
ke masyarakat dan dunia bisnis. Sebagian masyarakat menerima produk itu
berdasar keyakinan agama, tetapi dunia bisnis ada yang menerima dan menolak
produk itu berdasar pertimbangan rasional-ekonomis, yakni untung rugi. Inilah
yang mendasari sebagian pemilik dana untuk menginvestasikan dan menyimpan
uangnya ke bank syariah.
Ketiga, seperti kebijakan moneter
dan perbankan memerlukan legislasi dan regulasi untuk menjamin kepastian hukum,
syariat di bidang perbankan ini juga dilegislasikan, biasanya setelah
didiskusikan secara publik melalui seminar-seminar. Pelegislasian syariat itu
dilakukan melalui cara demokratis.
Meskipun UU dan peraturan perbankan
syariat telah menjadi hukum positif, tetapi realisasinya tetap bersifat
sukarela karena, menurut Sjafruddin Prawiranegara SH, mantan Gubernur BI, hukum
syariat adalah sebuah voluntary law. Dengan perlindungan hukum, bank syariah
berkembang di pasar, bersaing dengan bank-bank konvensional. Konsumen
dipersilakan memilih. Hal ini berbeda, misalnya, dengan di Iran, di mana
perbankan syariah diberlakukan dengan menutup bank-bank konvensional.
Ada beberapa faktor mengapa
perbankan syariah berkembang. Pertama, produk bank syariah memiliki keunggulan,
misalnya penyimpan maupun peminjam terhindar dari risiko fluktuasi suku bunga
sehingga memudahkan perencanaan usaha. Kedua, produk bank syariah cukup
variatif yang tidak bisa dilaksanakan di bank konvensional misalnya sistem
gadai atau raihan, mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana bisa menunjuk
peminjam dan di bidang apa bisa dan tidak bisa diinvestasikan, juga ijarah
muntahya bi al tamlik atau sewa dengan hak untuk memiliki barang di akhir sewa
atau hak untuk membeli barang yang telah disewa. Namun, bank syariah juga
memiliki hambatan. Pertama, tidak mudah bagi bank syariah untuk mengeluarkan
produk baru karena pertimbangan subhat atau meragukan hukumnya yang merupakan
grey area dalam penilaian Dewan Syariah. Kedua, jika dana berlebih, hukum
syariat melarang bank menyimpannya di SBI. Namun, bisa disimpan di giro wadiah
BI yang bagi hasilnya lebih kecil daripada suku bunga SBI. Ketiga, bank syariah
terkena pajak untuk transaksi murabahah karena dianggap sebagai produk
perdagangan dan bukan hanya produk bank. Agar bisa berkembang, bank syariah
harus membuktikan keunggulanya berdasarkan manfaat, baik bagi masyarakat umum
maupun dunia bisnis. Kini investor non-Muslim banyak yang tertarik untuk
berinvestasi di bank syariah. Demikian pula nasabah rasional sudah melebihi 50
persen dari seluruh nasabah, jadi sudah diterima pasar.
Di AS, para ahli keuangan sudah
melirik. Bahkan, mulai mempelajari apakah konsep syariah bisa menjadi
alternatif sistem keuangan global yang kini sedang dilanda turbulensi? Di
Indonesia, gerakan perkreditan mikro juga bertanya, apakah pendekatan syariah
bisa mendukung sistem perkreditan mikro yang mampu memberdayakan ekonomi rakyat
yang sehat, mandiri dan berkelanjutan (sustainable).
Dalam urusan muamalat, hukum asal
sesuatu adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti
ketika suatu transaksi baru muncul di mana belum dikenal sebelumnya dalam hukum
Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima kecuali terdapat
implikasi dari dalil Quran dan Hadist yang melarangnya secara eksplisit maupun
implisit. Begitu pula Islam menyikapi perbankan atau jihbiz.
Pada dasarnya ketiga fungsi utama
perbankan adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya
perbankan melakukan hal-hal yang dilarang syariah. Nah, dalam praktek perbankan
konvensional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan
sistem bunga. Bank konvensional tidak serta merta identik dengan riba, namun
kebanyakan praktek bank konvensional dapat digolongkan sebagai transaksi
ribawi.
Dari definisi riba, sebab (illat)
dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktek
perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl dapat ditemui dalam
transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba
nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga
tabungan / deposito / giro.
Riba jahiliyah dapat ditemui dalam
transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya. Jelaslah bahwa
perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk
memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan prinsip syariah. Lima transaksi
yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah :
1. Transaksi yang tidak mengandung
riba.
2. Transaksi yang ditujukan untuk
memiliki barang dengan cara jual beli (murabahah).
3. Transaksi yang ditujukan untuk
mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah)
4. Transaksi yang ditujukan untuk
mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah)
5. Transaksi deposito, tabungan,
giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan
(wadiah).
Dalam ilmu fiqh dikenal tiga jenis
riba yaitu: a. Riba Fadl Riba Fadl disebut juga riba buyu yaitu yang timbul
akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya
(mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu
penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu
ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang
dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan zalim terhadap salah satu
pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Contoh berikut ini akan memperjelas
adanya gharar. Ketika kaum Yahudi kalah dalam perang Khaibar, maka harta mereka
diambil sebagai rampasan perang (ghanimah), termasuk diantaranya adalah
perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan
gaya hidup kaum muslimin yang sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha
membeli perhiasannya yang terbuat dari emas tersebut, yang akan dibayar dengan
uang yang terbuat dari emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham).
Jadi se-benarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun pertukaran barang
yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak . Perhiasan
perak dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum
muslimin kepada kaum Yahudi seharga dua atau tiga dirham, padahal nilai
perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih tinggi dari sekedar 2-3 dirham.
Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perakdan nilai uang
perak (dirham). Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW mencegahnya dan bersabda:
“Dari Abu Said al-Khdri ra, Rasul SAW bersabda : Transaksi pertukaran emas
dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai),
kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran dan timbangan
dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung
harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah
riba; korma dengan korma harus sama takaran,timbangan dan tangan ke tangan
(tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran,
timbangan dan tangan ke tangan (tunai) kelebihannya adalah riba.” (Riwayat
Muslim) Di luar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan
penyerahannya pada saat yang sama. Rasul SAW bersabda: “Jangan kamu
bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu
sha dengan dua sha karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama).
Seorang bertanya : wahai Rasul:
bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan
seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW “Tidak mengapa, asal
dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung).”(HR Ahmad dan Thabra¬ni). Dalam
perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang
tidak dilakukan dengan cara tunai (spot). b. Riba Nasi’ah Riba Nasi’ah disebut
juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak
memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil
usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini
mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, ha¬nya karena berjalannya
waktu. Nasi ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi ah
mun¬cul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan an¬tara barang yang
diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al ghunmu
(untung) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul
tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan
berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada ke¬mungkinan untung dan
rugi. Memastikan sesuatu yang di luar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman
(QS AI Hasyr, 18 dan QS Luqman, 34). Pertukaran kewajiban menanggung beban
(exchange of liability) ini, dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah
satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.
Pendapat Imam Sarakhzi akan
memperjelas hal ini. “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi
bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan
tersebut” (Imam Sarakhsi dalam al-Mabsut, juz. Xll., hal. 109). Dalam perbankan
konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan
pembayaran bunga deposito, tabungan, giro. c. Riba Jahiliyah Riba Jahiliyah
adalah hutang yang dibayar melebihi dari po¬kok pinjaman, karena si peminjam tidak
mampu mengembali¬kan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan6. Riba
Ja¬hiliyah dilarang karena pelanggaran kaedah “Kullu Qardin Jarra Manfa’ah
Fahuwa Riba” (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi
penundaan waktu penyerahan¬nya, riba jahiliyah tergolong Riba Nasi ah; dari
segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl. Tafsir Qurtuby
menjelaskan: “Pada Zaman Jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh
tempo, akan berkata kepada para debitur : “Lunaskan hu¬tang anda sekarang, atau
anda tunda pembayaran itu dengan tambahan” “Maka pihak debitur harus menambah
jumlah kewa¬jiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu pembayaran
kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru. ” (Tafsir Qurtubi, 2/1157).
Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan
bunga pada transaksi kartu kredit.
Selama periode krisis ekonomi, bank
syariah masih dapat menunjukkan kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan
dengan lembaga perbankan konvensional. Hal ini dapat dilihat dari relatif
rendahnya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (nonperforming financing) pada
bank syariah dan tidak terjadinya negative spreaddalam kegiatan
operasionalnya. Pengalaman historis tersebut telah memberikan harapan kepada
masyarakat akan hadirnya sistem perbankan syariah sebagai alternatif sistem
perbankan yang selain memenuhi harapan masyarakat dalam aspek syariah juga
dapat memberikan manfaat yang luas dalam perekonomian.
Saat ini terdapat 20 persen market
share syariah loyalis dengan karakteristik antara lain mereka menghindari
segala macam bentuk riba (bunga/bank konvensional), cenderung untuk menggunakan
lebih dari satu bank syariah, dan memiliki kecenderungan untuk berpindah dari
satu bank ke bank syariah lain. Dengan demikian loyalis syariah di sektor UMKM
terdapat sekitar delapan juta pengusaha dengan potensi pembiayaan yang bisa
mencapai Rp 60 triliun, potensi revenue sekitar Rp 18 triliun. Saat ini masih
sedikit bahkan belum ada perbankan syariah yang secara serius dan fokus
menggarap sektor mikro. Hal ini karena sektor ini memiliki kekhasan tersendiri
baik mengenai delivery channel, prosedur dan proses, maupun sumber daya
insaninya. Distribusi pengusaha UMKM yang memancar luas melewati batas-batas
teritorial dan sosial, telah mensyaratkan adanya jaringan perbankan syariah
yang memiliki keluasan jangkauan pelayanan. Terbatasnya jaringan kantor bank
syariah menyebabkan pengenalan dan pengalaman masyarakat menggunakan jasa
perbankan syariah terbatas pula. Oleh karenanya, perluasan jaringan menjadi
sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menggarap segmen ini. Salah satu
karakteristik pengusaha UMKM adalah keinginan kemudahan syarat dan proses dalam
pengajuan pembiayaan. Mereka biasanya banyak yang secara bisnis cukup feasible,
tetapi terkendala dengan keterbatasan-keterbatasan, seperti jaminan dan
kelengkapan administrasi (TDP, SIUP, NPWP). Biasanya bank memberikan ketentuan
persyaratan jaminan yang cukup ketat. Misalkan, jaminan tanah dan bangunan
harus lengkap dengan sertifikatnya, IMB, lebar jalan lebih dari empat meter,
serta harus diasuransikan. Ini tentu saja sangat menyulitkan para pengusaha
sektor mikro.
Karenanya, perlu ada semacam
deregulasi ketentuan pemberian pembiayaan terhadap pengusaha sektor mikro . Jangan
lagi mendasarkan pada collateral basis, tetapi beralihlah pada character
basis karena pada dasarnya pengusaha sektor ini enggan dan malu berutang,
apalagi untuk memacetkan hutangnya. Dengan character basis ini, pihak bank
harus tahu persis tentang karakter para pengusaha di daerah setempat. Dalam hal
ini pihak bank bisa berkoordinasi dengan tokoh masyarakat setempat, ketua
pasar, dan kelompok masyarakat lainnya. Para pelaku UMKM memiliki keragaman
karakteristik sesuai latar belakang budaya daerah setempat. Keragaman ini tidak
bisa diatasi dengan suatu pola pendekatan yang sama. Kualifikasi sumber daya
insani perbankan syariah tidak semata-mata diukur dengan pemahaman mengenai
produk-produk perbankan Syariah, tetapi juga harus memiliki pengalaman dan kemampuan
menjalin hubungan dengan nasabah yang memiliki beragam karakteristik sesuai
latar belakang budaya setempat. Dengan demikian, kita harapkan perbankan
syariah dapat meningkatkan peranannya dalam memenuhi harapan masyarakat
terutama di sektor UMKM.
Secara umum pengertian Bank Islam
(Islamic Bank) adalah bank yang
pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini
banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain
istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free
Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a
Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis
yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank
Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah”.
Undang-undang Perbankan Indonesia,
yakni Undang-undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 10
Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan makalah ini disingkat UUPI),
membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana
disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian
prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan
Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
Fungsi Bank Syariah secara garis
besar tidak berbeda dengan bank
konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan
kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam
bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis
keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang
dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari
pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai
imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit
margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing).
Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari
mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah
dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank
Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance
dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar
transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta
sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank
Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli),
ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain.