Jumlah minimarket terus bertambah bak jamur di musim hujan di Jakarta. Kalau tak dibenahi, eksistensi pedagang tradisional dan warung rumahan bakal terancam. Oknum pejabat diduga turut bermain mengeluarkan izin bodong pendirian minimarket.
Berkaitan hal ini, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo berjanji menindak tegas bawahannya bila ada yang terbukti bersalah. Menurutnya, siapapun oknum yang terlibat harus diproses sesuai hukum yang berlaku. “Periksa saja langsung. Jika terbukti ada jajaran yang melakukan pelanggaran. Entah itu lurah, camat, atau pada tingkat pemkot, dan pemprov, mereka harus bertanggung jawab. Kalau perlu dipecat,” tegasnya.
Menurut anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta S Andyka, ada sekitar 700 minimarket di DKI Jakarta yang berdiri sejak 2007. Dia menduga kondisi itu dipicu oleh banyaknya para pengusaha minimarket yang mengakali aparat. “Mereka mengakali dengan alasan waralaba,” ujar Sekretaris Fraksi Gerindra ini kepada Rakyat Merdeka.
Kehadiran minimarket ini malah menembus dari pusat-pusat kota hingga ke kompleks-kompleks perumahan. Padahal, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sudah mengeluarkan Instruksi Gubernur No 115 Tahun 2006 tentang penundaan izin pendirian minimarket. Tapi instruksi tinggal instruksi. Pendirian minimarket seolah tetap tak terbendung.
Menurut Andyka, langkah tegas juga perlu diambil oleh Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi Pemprov DKI Jakarta demi menghindari kesan pembiaran. “Kabag ekonomi harusnya mengambil tindakan tegas berdasarkan peraturan yang berlaku,” urainya.
Jika
pemprov melakukan pembiaran, bukan tak mungkin masyarakat melakukan tindakan sendiri. Hal ini lantaran minimarket-minimarket itu sudah membunuh sumber ekonomi rakyat kecil. “Kalau dibiarkan jangan salahkan masyarakat jika suatu saat akan menyegel sendiri tempat-tempat itu,” ujarnya mengingatkan.
Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DKI Jakarta Harry Mulyono mengatakan, 3000-an tempat usaha di lima wilayah sudah gulung tikar karena konsumen beralih ke minimarket. Menurutnya, kerugian yang ditanggung usaha kelontong mencapai Rp 90 miliar bila modal rata-rata usaha kelontong mencapai Rp 30 juta.
Di tempat terpisah, Divisi Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi, mengatakan, persoalan minimarket berkaitan dengan masalah sistem sosial ekonomi masyarakat. Menurutnya sistem jual-beli di minimarket berbeda dengan pasar tradisional dan warung-warung rumahan. Minimarket menawarkan kepraktisan dan kenyamanan.
Dalam konteks pelayanan, Sularsi memandang warung rumahan juga tidak kalah dengan minimarket. Menurutnya konsep penjualan yang ada di warung rumahan bukan sekadar transaksi jual beli semata, tapi juga proses hubungan sosial yang didasari rasa saling percaya. Dia mencontohkan, kalau membeli di warung-warung rumahan masyarakat bisa berhutang. Sedang di minimarket, prinsipnya ada uang, ada barang. “Nah ini kan bagian dari budaya masyarakat kita. Warung membangun rasa guyub masyarakat,” jelasnya.
Sularsi menyayangkan menjamurnya minimarket di DKI Jakarta yang dapat menggerus nilai-nilai sosial masyarakat. Menurutnya, penyelesaian minimarket ilegal cukup mengacu pada peraturan hukum yang berlaku. Semua tinggal kemauan aparat di lapangan apakah mau bertindak tegas atau membiarkan. “Pembangunan minimarket sudah ada perdanya. Ini kan soal tindakan di lapangan,” tegasnya.
Untuk itu, Sularsi menyarankan pemprov melakukan pendataan dan pengkajian sebelum mengeluarkan izin pendirian. Dia misalnya mengusulkan dilakukan penghitungan jumlah penduduk terlebih dahulu di sekitar lokasi pendirian. Hal ini agar minimarket yang dibangun tidak mengganggu eksistensi pedagang tradisional atau warung kelontong rumahan. Dengan demikian, lanjutnya, minimarket tidak malah mematikan usaha-usaha kecil di sana lantaran kalah bersaing oleh konsumen yang terbatas.
Hal berikut yang perlu diperhatikan menurutnya adalah mengenai regulasi jam buka. Sularsi mengusulkan, sebaiknya jam buka minimarket yang 24 jam hanya diberlakukan di kawasan perumahan. Ia mengingatkan, minimarket-minimarket yang berdiri secara serampangan dapat menimbulkan kerugian di masyarakat. Bahkan, lanjutnya, ketika minimarket-minimarket itu berhasil menjatuhkan pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil rumahan, bukan tidak mungkin lima - 10 tahun ke depan minimarket-minimarket itu akan melakukan monopoli harga yang berujung pada kerugian konsumen.
Dia menyesalkan kesan tak acuh pejabat pemprov yang baru bertindak setelah ada kasus. Padahal menurutnya, selama ini pemberian izin minimarket seolah dikeluarkan tanpa kajian dan proses yang semestinya. “Ada kesalahan di tingkat pejabat pemberi izin. Berapa pun surat yang diajukan, pasti selalu diberi izin,” cetusnya.
Padahal, menurut Sularsi, tak satu pun pengajuan izin retail yang ditolak akan menjadi preseden buruk ke depan. Dia juga mengingatkan, agar para pengusaha tidak seenak hati mendirikan minimarket tanpa memperhatikan nasib ekonomi rakyat kecil.
Sularsi meminta aparat pemprov menindak tegas aparat dan minimarket yang terbukti mengeluarkan surat izin palsu. Kalau ada di antara mereka yang menggunakan izin palsu, lanjutnya, dapat dipidanakan. Bukan sekadar ditutup, tapi bila perlu dipenjarakan. Namun ini menurutnya kembali lagi pada kemauan aparat. Ia mengingatkan agar dalam pendataan jangan sampai terjadi “main mata” antara petugas inventarisir dengan pemilik minimarket. “Semua harus dilakukan secara transparan. Data-data perlu ditunjukan pada publik,” tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar