Selamat membaca

Laman

Minggu, 30 Oktober 2011

Kepercayaan

Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan.

MANUSIA

Membicarakan mengenai manusia, maka akan muncul berbagai macam pertanyaan. Apa itu Manusia? Apa beda Manusia dengan makhluk-makhluk lain.Ada berbagai macam definisi manusia. Ada definisi yang memandangnya dari segi fisiologis ada juga yang memandangnya dari segi sosiologi, dan lain-lain.
Dari segi fisiologis bahwa manusia itu makhluk yang mempunyai fisik hampir sama dengan hewan. Hewan punya kepala, maka manusia punya kepala. Hewan punya telinga, maka manusia punya telinga. Hewan punya kaki, maka manusia pun punya kaki. Dari segi fisiologis bisa dikatakan tidak ada beda antara manusia dengan hewan.
Jika kita mendefinisikan manusia hanya melalui segi fisiologis saja, maka kita akan dibuat kebingungan. Di antara manusia itu saja terjadi perbedaan bentuk fisik. Ada yang gendut, kurus, ada yang langsing. Ada yang bisa melihat dan ada yang (maaf) buta. Jika terjadi perbedaan seperti itu, maka mana yang pantas disebut sebagai manusia?
Maka dari itu, kita harus mendefinisikan manusia kembali dengan sudut pandang lainnya. Menurut saya, definisi manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dan dianugerahiNya akal, hati, fisik. Yang membedakan antara manusia dengan hewan adalah akal. Maka ada yang berpendapat bahwa manusia itu hewan yang berakal. Karena dari segi fisik memang tidak ada beda dengan hewan tetapi yang membedakannya adalah akal. Manusia  mempunya sisi baik dan sisi buruk. Tetapi kita juga jangan lupa bahwa manusia itu juga punya fitrah / kecenderungan untuk menyempurnakan diri. Bagaimana manusia menyempurnakan dirinya? Manusia dalam proses penyempurnaan diri itu membutuhkan yang namanya pengetahuan.