Selamat membaca

Laman

Senin, 26 September 2011

Sekilas tetang masyarakat betawi

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an.
Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Seorang budak belian perempuan dari Bali. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.
Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag. Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.
Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18
Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota.
Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota
Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkanjalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga - tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.**Bapeda

Pancasila

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 PreambuleDalam upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :
  • Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.[1]
  • Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu, katanya:
Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :

[sunting] Hari Kesaktian Pancasila

Pada tanggal 30 September 1965, adalah awal dari Gerakan 30 September (G30SPKI). Pemberontakan ini merupakan wujud usaha mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis. Hari itu, enam Jendral dan berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun berkat kesadaran untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Maka 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September G30S-PKI dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila, memperingati bahwa dasar Indonesia, Pancasila, adalah sakti, tak tergantikan.

[sunting] Butir-butir pengamalan Pancasila [2]

Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila.
36 BUTIR-BUTIR PANCASILA/EKA PRASETIA PANCA KARSA
A. SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
  1. Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  2. Hormat menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
  3. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
  4. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B. SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
  1. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
  2. Saling mencintai sesama manusia.
  3. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
  4. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
  5. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
  6. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
  7. Berani membela kebenaran dan keadilan.
  8. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
C. SILA PERSATUAN INDONESIA
  1. Menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
  2. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
  3. Cinta Tanah Air dan Bangsa.
  4. Bangga sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
  5. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
D. SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN / PERWAKILAN
  1. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
  2. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
  3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
  4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
  5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
  6. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
  7. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  8. Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
E. SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
  1. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong.
  2. Bersikap adil.
  3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  4. Menghormati hak-hak orang lain.
  5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
  6. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
  7. Tidak bersifat boros.
  8. Tidak bergaya hidup mewah.
  9. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
  10. Suka bekerja keras.
  11. Menghargai hasil karya orang lain.
  12. Bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003 dengan 45 butir Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila

Pak Harto Selamatkan Bangsa dari Kehancuran

   
Prof.Dr.H.Emil Salim:

Sejarah pertumbuhan ekonomi di awal era Orde Baru, sebetulnya patut diacungi jempol. Jika toh sekarang rezim Soeharto dituding hanya mewariskan utang bertumpuk-tumpuk atau sisa kebobrokan sistem ekonomi mikro dan makro yang menyesakkan, pemerintah Orde Baru ternyata pernah menyelamatkan bangsa ini dari gelombang kehancuran.

Laju inflasi menjelang peristiwa G-30-S/PKI contohnya, bisa dibilang edan. Jangan kaget, indeks biaya hidup tahun 1960 sampai tahun 1966, naik 438 kali! Harga beras naik 824 kali! Harga tekstil naik 717 kali! Nah, sementara harga-harga itu mengganas, nilai rupiah sekarat dari Rp.160 saja menjadi Rp.120 ribu!

Itu semua agaknya menjadi bukti ilustratif betapa malapetaka yang menghantam bangsa Indonesia saat itu demikian dahsyat. Belum lagi persoalan ekonomi yang mencabuti satu per satu ajal rakyat Indonesia ini masih harus dipinggirkan oleh drama pergulatan politik nasional. Selepas pecahnya gerakan 30 September, panggung politik nasional memang diwarnai intrik-intrik dahsyat merebut tampuk kekuasaan pemerintah.

Di tengah pergulatan elit politik nasional, penanganan masalah ekonomi terpaksa menempuh cara-cara politis. Maklum dua kekuatan besar -- kelompak komunis dan anti-komunis (digalang ABRI) -- sama-sama bertarung menunggu tangkat estafet kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Desakan hebat untuk membubarkan PKI -- yang disebut-sebut kurang digubris Bung Karna -- memaksa Proklamator RI itu harus lengser dari Istana. la diganti Soeharto, yang sukses menumpas PKI. Demikian Prof.DR.H.Emil Salim mengemukakan pada kuliah program sejarah lisan Indonesia (1965- 1971 ), Kamis, di CSIS (Centre for Strategic and International Studies) Jakarta.

Sanering
Pada awal-awalnya, menurut ekonom Emil Salim dan Frans Seda, pemerintahan Orde Baru diakui cukup progresif. Pemerintahan yang dikomandoi Pak Harto ini mampu memadukan semua komponen masyarakat dalam mengatasi persoalan bangsa. Di bidang ekonomi, para ekonom dari FE-UI di antaranya, dapat dirangkul dalam menyumbangkan konsep alternatif untuk memulihkan perekonomian nasional.

Misalnya saja sanering rupiah atau menghapus tiga nol di balik angka ribuan tanpa mengusahakan rencana pengendalian defisit anggaran. Meski dinilai konyol, langkah politis-ekonomis ini efektif menerapkan tujuan ganda: memulihkan ekonomi sekaligus mengurangi kontrol kelompok PKI yang menggondol kantung-kantung rupiah.

Kecuali itu, upaya lain yang sempat digalang kelompok ekonom adalah membuat alternatif seperti menaikkan harga bensin atau tarif angkutan umum, serta menaikkan gaji pegawai negeri.

Pintu masukan bagi pemerintah, juga dikukuhkan dalam hasil sidang MPRS Juni 1966. Di sini mulai dibuka kran masukan untuk merumuskan landasan komprehensif mengenai kebijakan ekonomi baru. Ambil contoh, Ketetapan MPRS No. 23/66 tentang pembaharuan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Ketetapan ini memberi dasar bagi Kabinet Ampera (25 Juli 1966) dan Dewan Stabilisasi Ekonomi (11 Agustus 1966) untuk melakukan upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional.

Jurus para ekonom yang diakomodir pemerintahan Orde Baru itu, paling tidak mampu menyusun program rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi yang cukup komprehensif. Ada lima jurus yang dianggap manjur. Pertama, pengendalian inflasi melalui kebijakan anggaran berimbang, dan kebijakan moneter ketat. Kedua, pencukupan kebutuhan pangan. Ketiga, pencukupan kebutuhan sandang. Keempat, rehabilitasi berbagai sarana dan prasarana ekonomi. Kelima, peningkatan ekspor dengan mengembalikan share sepenuhnya pada eksportir.

Kebijakan jitu lainnya yang digulirkan pemerintah saat itu adalah deregulasi dan debirokratisasi (Paket 10 Februari dan 28 Juli 1967, dan seterusnya). Pemerintah juga membuka diri untuk penanaman modal asing, meski dilakukan secara bertahap.

Liang Kubur
Hasilnya, laju inflasi mulai jinak. Dari kisaran angka 650 persen (tahun 1966), melunak jadi 100 persen (1967), turun lagi 50 persen (1968), bahkan terkendali di bilangan 13 persen (1969). “Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu," ujar Emil Salim.

Ada pertanyaan dari floor, yang menyebutkan kelompok ekonom macam Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Frans Seda hanya dimanfaatkan pemerintah Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. "Sebagai intelektual, saya hanya memanfaatkan ilmu untuk kepentingan rakyat Indonesia. Terserah orang mau bilang apa,” ujar Emil Salim, menjawab pertanyaan tersebut.

Emil Salim juga mengakui bahwa di era 60-70an Pak Harto begitu piawai memadukan komponen bangsa, sampai-sampai republik ini bisa selamat dari liang kubur di pertengahan tahun 60-an. Bahkan Frans Seda berpendapat, “Memang setelah anak-anaknya (Soeharto) gede, kebijakan ekonomi jadi bias. Setelah merasa memperoleh personalized power, Pak Harto memborong semua sejarah. Seolah-olah, keberhasilan pemerintahan Orde Baru adalah berkat srateginya sendiri!“

Frans Seda berani menilai bahwa pada awal-awalnya, pemerintahan Orde Baru bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokratis, terbuka, transparan, dan komunikatif. Itu sebabnya ia memisahkan dua kekuatan, yakni pemerintahan Orde Baru dan rezim Soeharto. Pemerintahan Orde Baru yang membawa semangat murni dan konsekuen dalam menjalankan amanat Pancasila serta UUD 1945, katanya, hanya berkibar sampai 1975/1976. Sedangkan rezim Soeharto bangkit 1983.

Golkar dan ABRI
Di antara 1975 sampai 1983 ini, terjadi proses transisi yang ditandai dua macam krisis. Krisis politik diledakkan oleh peristiwa Malari, sementara krisis ekonomi diwakili oleh kasus Pertamina. Soeharto, memenangi kedua krisis tersebut. sampai kembali terpilih tiga kali berturut-turut dengan dukungan riil Golkar dan ABRI. “Jadi keliru kalau ada yang menyatakan semua komponen pemerintahan Orde Baru itu salah,” katanya menegaskan.

Terlepas dari itu, Emil Salim menggarisbawahi lima butir hikmah yang harus selalu dijadikan pedoman oleh pemerintahan pasca Orde Baru. Pertama, gagasan-gagasan ekonomi harus sederhana dan bisa menyentuh kebutuhan rakyat, dalam arti bergerak pada alam pikir yang rasional. Kedua, mengembangkan jaringan ekonomi yang luas untuk kepentingan yang berkait dengan gagasan-gagasan pembaharuan. Ketiga, bekerja dalam skala prioritas, misalnya membuat evaluasi kerja per 1OO hari, 1000 hari atau sejuta hari. Keempat, alur fragmatisme harus dijadikan acuan untuk mencari jalan keluar. Dan yang kelima, orientasi tanpa pamrih demi rakyat kecil.

Catatan lain menyibak sosok Presiden Bung Karno sebagai pemimpin yang tidak mau dipusingkan oleh urusan ekonomi, alias cuma mau mengurusi politik tok. Sebab itu, ia lantas menunjuk Mohammad Hatta. Padahal, kebijakan ekonomi tanpa diimbangi oleh kebijakan politik yang padu, adalah sebuah ketimpangan. Dan, akankah ketimpangan serupa juga bakal dijalankan oleh pemerintah mendatang?

*** Soeharto Media Center, Sumber Hasyim, Suara Karya 27 Agustus 1999

Pengangguran

Pengangguran adalah seseorang yang tergolong angkatan Kerja dan ingin mendapatkan kerja tapi belum mendapatkannya. Masalah pengangguran termasuk masalah Negara yang belum diselelaikan sampai saat ini. Bayangkan, pada 1997, jumlah penganggur terbuka mencapai 4,18 juta. Selanjutnya, pada 1999 (6,03 juta), 2000 (5,81 juta), 2001 (8,005 juta), 2002 (9,13 juta) dan 2003 (11,35 juta). Sementara itu, data pekerja dan pengangguran menunjukkan, pada 2001: usia kerja (144,033 juta), angkatan kerja (98,812 juta), penduduk yang kerja (90,807 juta), penganggur terbuka (8,005 juta), setengah penganggur terpaksa (6,010 juta), setengah penganggur sukarela (24,422 juta).
pada 2002: usia kerja (148,730 juta), angkatan kerja (100,779 juta), penduduk yang kerja (91,647 juta), penganggur terbuka (9,132 juta), setengah penganggur terpaksa (28,869 juta), setengah penganggur sukarela tidak diketahui jumlah pastinya. Hingga tahun 2002 saja telah banyak pengangguran, apalagi di tahun 2003 hingga 2007 pasti jumlah penggangguran semakin bertambah dan mengakibatkan kacaunya stabilitas perkembangan ekonomi Indonesia. Ini merupakan angka yang fantastis bawasannya Indonesia merupakan negara yang memiliki Kekayaan Alam yang melmpah RUAh, sungguh ironis memang. Seharusnya pemerintah harus dapat mengeluarkan kebijakan yang kongkrit untuk masalh pengangguran.

Selasa, 20 September 2011

Pergerakan Mahasiswa

Perubahan di Negeri ini tidak terlepas yang dimana Pergerakan Pemuda yang di catatat lembaran Sejarah Indonesia sejak tahun 1928,1945,1966 dan terakhir 1998, yang dimana Pergerakan Pemuda mampu merubah Wajah Bangsa dan Negara Indoneia menuju kehidupan yang lebih baik. Pada tahun 1928 merupakan Tahun yang bersejarah yang dimana seluruh Pemuda bersumpah untuk bersatu merebut kemerdekaan dan merupakan Titik terang untuk bangsa Indonesia. Dan dilanjutkan dengan Tahun 1945 Indonesia merebut kemerdekaan, itu juga tidak terlepas dari Peran Pemuda yang mendorong Soekarno untuk mempercepat Kemerdekaan. pada Tahun 1966 Pemuda hanya menghantarkan Perubahan Bangsa dan Negara Indonesia menuju massa depan yang baik, Tahun 1998 Pemuda menurunkan Rezim militer yang di kendalikan oleh Bpk Soeharto. Semua Perubahan Bangsa dan Negeri Indonesia adalah perananan Pemuda Indonesia yang ingin menciptakan Indonesia yang makmur dan sejahtera.